1. Fungsi negara yang lemah. Negara dalam sistem Kapitalisme hanya berfungsi sebagai regulator yang menjamin kebebasan individu. Negara bukan berfungsi sebagai pengurus dan pelayan rakyat, penjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan seluruh rakyatnya, serta penjaga moral dan akidah masyarakat. Negara tidak memiliki jaminan hukum untuk menghapus sarana dan prasarana yang menunjang maraknya perilaku seks bebas. Negara juga tidak memiliki kepastian hukum untuk menindak tegas segala bentuk kejahatan, termasuk kejahatan asusila. Pasalnya, negara telah dipasung oleh kebebasan individu yang dijamin atas nama HAM (Hak Asasi Manusia). HAM telah melegalisasi setiap individu untuk berperilaku bebas, termasuk melakukan seks bebas. Negara membiarkannya bahkan memfasilitasi sarana prasarana yang memungkinkan untuk diakses dalam melakukan perbuatan seks bebas. Buktinya, negara membiarkan keberadaan night club 24 jam. Tempat-tempat pelacuran dilegalisasi. Para pelacurnya bahkan diakui sebagai pekerja dengan sebutan Pekerja Seks Komersial (PSK). Atas nama kebebasan pers negara pun membiarkan tontonan TV yang menyuguhkan materi pornografi sehingga diakses oleh seluruh kalangan termasuk anak-anak. VCD/DVD porno sangat mudah didapat karena dibiarkan beredar secara komersial dengan harga yang sangat murah sehingga bisa diakses oleh siapa saja dan di mana saja. Bahkan kini makin banyak cara untuk menjual materi pornografi melalui internet dan handphone.
2. Andil media massa. Media massa sangat efektif dalam membangun pemikiran dan persepsi tentang standar-standar kehidupan. Aktivitas seks bebas semakin meningkat karena adanya dukungan media massa yang ikut andil menyebarluaskan pemikiran maupun perbuatan-perbuatan yang bermuatan liberal. Media massa atas nama kebebasan pers mendapatkan legalisasi untuk menulis, mencetak dan menyebarluaskan materi-materi pornografi dan pornoaksi yang merangsang munculnya perilaku seks bebas, khususnya di kalangan remaja. Bahkan saat sudah jelas-jelas melakukan penyebarluasan pornografi dan dijatuhi sanksi hukum, namun atas nama kebebasan pers, pemilik media dapat bebas dari jeratan hukum, sebagaimana yang dialami oleh Pemimpin Redaksi Majalah Playboy Indonesia, Erwin Arnada.
3. Masyarakat permisif. Sistem Kapitalisme telah memunculkan kehidupan yang individualistis dan materialistis; kehidupan yang mengutamakan kepuasan-kepuasan individual dengan menghalalkan segala cara tanpa memperhatikan kepentingan orang lain. Maraknya perilaku seks bebas di kalangan remaja karena kepedulian masyarakat untuk melakukan kontrol sosial sudah semakin menipis. Masyarakat saat ini lebih mengutama-kan kepentingan pribadi. Mereka merasa tidak bertanggung jawab untuk menghentikan aktivitas-aktivitas seks bebas yang ada di sekitarnya. Saat ini anak remaja yang berpacaran sudah dianggap biasa dan dianggap gaul. Bahkan yang tidak berpacaran dianggap aneh dan dicurigai sebagai perbuatan yang tidak normal. Aktivitas pacaran yang mendekati perbuatan zina (berdua-duaan, berpegangan tangan, berciuman di depan umum, bahkan hubungan seks) dianggap sebagai konsekuensi kehidupan yang modern. Keberadaan tempat-tempat yang menyediakan aktivitas hura-hura yang disertai dengan minum-minuman keras, narkoba dan perbuatan asusila lainnya dibiarkan begitu saja. Bahkan pihak yang berusaha melakukan amar makruf nahi mungkar dianggap bisa dianggap radikal bila menolak perbuatan-perbuatan maksiat tersebut.
4. Meluasnya pornografi dan pornoaksi. UU Pornografi yang disahkan pada tahun 2008 terbukti tidak mampu mencegah dan menghentikan aktivitas pornografi dan pornoakasi. Saat ini pornografi dan pornoaksi semakin mudah diakses melalui internet dan handphone dengan materi yang lebih vulgar. Masih sangat jelas bagi kita apa yang terjadi dalam kasus Ariel Peterpan dengan para kekasihnya yang menyebar melalui dunia maya dan handphone, ditambah lagi perbuatan anggota DPR yang menikmati pornografi-pornoaksi melalui internet saat di ruangan rapat. Semua itu merupakan bukti nyata yang amat menjijikkan.
5. Pendidikan agama lemah. Di negeri ini pendidikan agama hanya diajarkan dengan jumlah jam yang sangat sedikit bila dibandingkan dengan pelajaran eksakta dan bahasa. Pendidikan agama hanya diajarkan 2 jam seminggu. Itu pun dengan bobot yang kosong dari penanaman akidah dan keterikatan pada hukum syariah. Akibatnya, remaja tidak mendapatkan pondasi agama yang kokoh. Karena itu, mereka tidak bisa menyaring dan menyeleksi berbagai rangsangan berupa pemikiran dan perbuatan yang mengarah pada perilaku seks bebas. Pendidikan agama hanya dibatasi pada pengajaran Islam sebagai nilai, norma dan budaya; bukan sebagai suatu sistem yang berhak mengatur kehidupan dalam seluruh aspek kehidupan. Ditambah lagi dengan adanya stigmatisasi terhadap Islam sebagai suatu sistem kehidupan telah menyebabkan remaja semakin asing dan jauh dari Islam sebagai way of life.
6. Keluarga bermasalah. Sikap individualis dan materialis telah mengalir deras dalam kehidupan keluarga yang menyebabkan fungsi keluarga mengalami porak-poranda. Atas nama mencukupi kebutuhan keluarga dan meraih eksistensi di tengah masyarakat, orangtua (ayah-ibu) berlomba-lomba bekerja dan mencari uang dari pagi hingga malam hari tanpa memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak di rumah. Peran orangtua sebagai pendidik dan pembina anak-anak sudah diserahkan kepada media (TV, Internet, Play Station, dll), pembantu dan sekolah dengan kompensasi penyediaan anggaran yang besar. Orangtua menjadikan materi sebagai standar dalam memberikan kebahagiaan kepada anggota keluarga. Aktivitas anak-anak tidak terkontrol dengan baik. Mereka tidak mendapatkan kasih sayang yang cukup. Bahkan orangtua tidak lagi menjadi teladan yang baik bagi anak-anak. Mereka memberikan contoh yang buruk dengan perilaku perselingkuhan, korupsi, pertengkaran suami-istri, meminum-minuman keras, dan lain-lain. Padahal remaja yang sedang menuju masa balig tentu membutuhkan keteladanan, bimbingan dan kasih sayang yang cukup dari orangtua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar