Sabtu, 16 November 2013

Dampak dari pergaulan bebas dan sexs bebas


Hasil survei yang dilansir DKT Indonesia yang menyatakan bahwa 39 persen anak baru gede (ABG) kota besar pernah melakukan seks bebas. Persentase tersebut diperoleh dari survei yang dilakukan oleh yayasan afiliasi dari DKT Internasional yang berkantor di Washington, Amerika, terhadap remaja dan kaum muda berusia antara 15-25 tahun. Survei yang dilakukan pada Mei 2011 itu dilakukan dengan cara wawancara langsung terhadap 663 responden di 5 kota besar di Indonesia, yaitu Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Bali. “39 persen responden ABG usia antara 15-19 tahun pernah berhubungan seksual, sisanya 61 persen berusia anatara 20-25 tahun,” ungkap Pierre Frederick, Senior Brand Manajer Sutra dan Fiesta Condoms DKT Indonesia (5/12/2011) di Jakarta.
 
Meski tidak bisa mewakili populasi masyarakat Indonesia, Pierre menjelaskan bahwa hasil survei ini bisa dijadikan barometer untuk menggambarkan perilaku seksual remaja dan kaum muda di Indonesia, khususnya di kota-kota besar.
Pesta Seks
Pelajar SMP yang nekad berpesta seks di ruang kelas. Empat pelajar SMP di Gunungkidul, Yogyakarta, misalnya. Sebelum menggelar pesta seks mereka mabuk-mabukan terlebih dulu. Yang menarik, miras tersebut diperoleh dari warung milik seorang anggota polisi. 

Awal September 2011 terungkap seorang siswi sebuah SMP swasta di Turen Kabupaten Malang mencoba menjadi sutradara sekaligus kameramen. Jenis film yang diproduksinya adalah film porno dengan pemain sepasang teman sekolahnya. 

Pesta seks yang dilakukan oleh sekumpulan anak 12 tahun ke bawah di Palembang yang terungkap pada April 2011. Sebulan sebelum terungkap, enam bocah berinisial Sawa (12), Ada (12), Baya (12), Iha (12), Uda (12) dan Yag (11) ini—semuanya laki-laki—melakukan tindakan homoseksual di Lorong Peluncuran, 28 Ilir, Palembang. Mereka berpasangan dalam melakukan tindakan asusila. 

Pelacuran 
Arinta Erma Apriliani alumnus Sosiologi Universitas Airlangga, dalam skripsinya Pelacuran Remaja (2011) mengungkapkan ternyata sebagian besar siswi SMA Negeri di Surabaya yang terlibat menjadi pelacur bukanlah karena faktor kemiskinan materi. Lantas apa? Dari hasil penelitian ini diketahui tiga hal. Pertama: makna seks komersial di kalangan siswi SMA adalah sebagai suatu kepuasan seksual. Uang bukan lagi menjadi hal utama dalam prostitusi. Kedua: seks komersial bermakna sebagai suatu kepuasan pelampiasan. Ketiga: bagi kalangan siswi SMA seks komersial bermakna sebagai kepuasan perhatian yang diperoleh dalam dunia prostitusi. 

Pornografi   
Hal mengejutkan terjadi ketika YKB menemukan sebanyak 83,7 persen anak sekolah dasar kelas IV dan kelas V, sudah kecanduan pornografi. Anak-anak saat ini memang sangat mudah mendapatkan gambar ataupun video porno. Komputer, internet, telepon seluler, video game bisa jadi sarana penyebaran video porno di kalangan anak-anak. Acara-acara sinetron dan infotainmen di televisi, juga banyak berisi pendidikan pacaran dan perzinaan yang dengan mudah ditonton anak-anak.   
Aborsi  
Salah satu dampak dari seks bebas itu adalah meningkatnya jumlah kasus kehamilan di luar nikah yang memicu masalah lain, yaitu praktek aborsi. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat sepanjang 2008 hingga 2010, kasus perampasan hak hidup melalui aborsi terus meningkat. Yang lebih mengkhawatirkan, 62 persen pelakunya adalah anak di bawah umur. 
Sekretaris Jenderal Komnas PA, Samsul Ridwan, mengatakan, selama kurun waktu dua tahun itu, kenaikan kasus aborsi mencapai 15 persen setiap tahunnya. Pada 2008 ditemukan dua juta jiwa anak korban aborsi. Tahun berikutnya naik 300 ribu jiwa, sedangkan pada 2010 jumlahnya naik lagi 200 ribu jiwa.
Total dari 2008 sampai 2010 jumlahnya sebanyak 2,5 juta kasus. Untuk 2011 di Jakarta ditemukan sebanyak 406 kasus. Yang mencengangkan, berdasarkan data yang dimiliki Komnas PA, dari 2,5 juta kasus aborsi, sebanyak 62,6 persen dilakukan anak di bawah umur 18 tahun.  
Narkoba 
Dampak lain dari pergaulan bebas adalah penyalahgunaan narkoba. Berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional pada 2008, sebanyak 1,5 persen atau sekitar 3,2 juta penduduk Indonesia adalah pengguna narkoba. Sebanyak 78 persen di antaranya adalah remaja atau penduduk usia 20-29 tahun. BNN pun mencatat pengguna narkoba termuda di Indonesia masih berusia tujuh tahun. Hal yang lebih menyedihkan lagi, ternyata ada sekitar 8.000 anak SD yang tengah menjalani rehabilitasi narkoba. Tidak terbayang siswa SD yang baru berumur 7 hingga 12 tahun pakai narkoba, tetapi kenyataannya ini memang terjadi. Di Bekasi saja, pada 2010 ditemukan setidaknya 95 siswa SD terlibat narkoba. 
TIMBULNYA PENYAKIT AKIBAT SEXS BEBAS
Tingginya kasus penyakit Human Immunodeficiany Virus/Acquired Immnune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS), khususnya pada kelompok umur remaja, salah satu penyebabnya akibat pergaulan bebas.Hasil penelitian di 12 kota di Indonesia termasuk Denpasar menunjukkan 10-31% remaja yang belum menikah sudah pernah melakukan hubungan seksual.
Di kota Denpasar dari 633 pelajar Sekolah Menengah Tingkat Atas (SLTA) yang baru duduk di kelas II, 155 orang atau 23,4% mempunyai pengalaman hubungan seksual.
Mereka terdiri atas putra 27% dan putri 18%. Data statistik nasional mengenai penderita HIV/AIDS di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 75% terjangkit hilangnya kekebalan daya tubuh pada usia remaja.
Demikian pula masalah remaja terhadap penyalahgunaan narkoba semakin memprihatinkan.Berdasarkan data penderita HIV/AIDS di Bali hingga Pebruari 2005 tercatat 623 orang, sebagian besar menyerang usia produktif. Penderita tersebut terdiri atas usia 5-14 tahun satu orang, usia 15-19 tahun 21 orang, usia 20-29 tahun 352 orang, usia 30-39 tahun 185 orang, usia 40-49 tahun 52 orang dan 50 tahun ke atas satu orang.
semakin memprihatinkan penderita HIV/AIDS memberikan gambaran bahwa, cukup banyak permasalahan kesehatan reproduksi yang timbul diantara remaja. Oleh sebab itu mengembangan model pusat informasi dan konsultasi kesehatan reproduksi remaja melalui pendidik (konselor) sebaya menjadi sangat penting.
“Pusat informasi dan konsultasi kesehatan reproduksi remaja menjadi model pemberdayaan masyarakat yang bertujuan menumbuhkan kesadaran dan peranserta individu memberikan solusi kepada teman sebaya yang mengalami masalah kesehatan reproduksi”.
Pelatihan Managemen tersebut diikuti 24 peserta utusan dari delapan kabupaten dan satu kota di Bali berlangsung selama empat hari.
Belum lama ini ada berita seputar tentang keinginan sekelompok masyarakat agar aborsi dilegalkan, dengan dalih menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia. Ini terjadi karena tiap tahunnya peningkatan kasus aborsi di Indonesia kian meningkat, terbukti dengan pemberitaan di media massa atau TV setiap tayangan pasti ada terungkap kasus aborsi. Jika hal ini di legalkan sebgaimana yang terjadi di negara-negara Barat akan berakibat rusaknya tatanan agama, budaya dan adat bangsa. Berarti telah hilang nilai-nilai moral serta norma yang telah lama mendarah daging dalam masyarakat. Jika hal ini dilegal kan akan mendorong terhadap pergaulan bebas yang lebih jauh dalam masyarakat.
Orang tidak perlu menikah untuk melakukan hubungan seks. Sedangkan pelepasan tanggung jawab kehamilan bisa diatasi dengan aborsi. Legalisasi aborsi bukan sekedar masalah-masalah kesehatan reproduksi lokal Indonesia, tapi sudah termasuk salah satu pemaksaan gaya hidup kapitalis sekuler yang dipropagandakan PBB melalui ICDP (International Conference on Development and Population) tahun 1994 di Kairo Mesir.
Pada dasarnya seorang wanita yang melakukan aborsi akan mengalami ; penderitaan kehilangan harga diri (82%), berteriak-teriak histeris (51%), mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi (63%), ingin bunuh diri (28%), terjerat obat-obat terlarang (41%), dan tidak bisa menikmati hubungan seksual (59%).
Aborsi atau abortus berarti penguguran kandungan atau membuang janin dengan sengaja sebelum waktunya, (sebelum dapat lahir secara alamiah). Abortus terbagi dua;
Pertama, Abortus spontaneus yaitu abortus yang terjadi secara tidak sengaja. penyebabnya, kandungan lemah, kurangnya daya tahan tubuh akibat aktivitas yang berlebihan, pola makan yang salah dan keracunan.
Kedua, Abortus provocatus yaitu aborsi yang disengaja. Disengaja maksudnya adalah bahwa seorang wanita hamil sengaja menggugurkan kandungan/ janinnya baik dengan sendiri atau dengan bantuan orang lain karena tidak menginginkan kehadiran janin tersebut.

Risiko Aborsi
 
Aborsi memiliki risiko penderitaan yang berkepanjangan terhadap kesehatan maupun keselamatan hidup seorang wanita. Tidak benar jika dikatakan bahwa seseorang yang melakukan aborsi ia ” tidak merasakan apa-apa dan langsung boleh pulang “.
Ini adalah informasi yang sangat menyesatkan bagi setiap wanita, terutama mereka yang sedang kebingungan karena tidak menginginkan kehamilan yang sudah terjadi. Resiko kesehatan terhadap wanita yang melakukan aborsi berisiko kesehatan dan keselamatan secara fisik dan gangguan psikologis.
Dalam buku “Facts of Life” yang ditulis oleh Brian Clowes, Phd; Risiko kesehatan dan keselamatan fisik yang akan dihadapi seorang wanita pada saat melakukan aborsi dan setelah melakukan aborsi adalah ;
- Kematian mendadak karena pendarahan hebat.
- Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal.
- Kematian secara lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan.
- Rahim yang sobek (Uterine Perforation).
- Kerusakan leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya.
- Kanker payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita),
- Kanker indung telur (Ovarian Cancer).
- Kanker leher rahim (Cervical Cancer).
- Kanker hati (Liver Cancer).
- Kelainan pada placenta/ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya.
- Menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan lagi ( Ectopic Pregnancy).
- Infeksi rongga panggul (Pelvic Inflammatory Disease).
- Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis)
Proses aborsi bukan saja suatu proses yang memiliki resiko tinggi dari segi kesehatan dan keselamatan seorang wanita secara fisik, tetapi juga memiliki dampak yang sangat hebat terhadap keadaan mental seorang wanita. Gejala ini dikenal dalam dunia psikologi sebagai “Post-Abortion Syndrome” (Sindrom Paska-Aborsi) atau PAS. Gejala-gejala ini dicatat dalam ” Psychological Reactions Reported After Abortion ” di dalam penerbitan The Post-Abortion Review.
Oleh sebab itu yang sangat penting untuk diperhatikan dalam hal ini adanya perhatian khusus dari orang tua remaja tersebut untuk dapat memberikan pendidikan seks yang baik dan benar. Dan memberikan kepada remaja tersebut penekanan yang cukup berarti dengan cara meyampaikan; jika mau berhubungan seksual, mereka harus siap menanggung segala risikonya yakni hamil dan penyakit kelamin.
Namun disadari, masyarakat (orangtua) masih memandang tabu untuk memberikan pendidikan, pengarahan sex kepada anak. Padahal hal ini akan berakibat remaja mencari informasi dari luar yang belum tentu kebenaran akan hal sex tersebut

FAKTOR PEMICU SEX BEBAS


1. Fungsi negara yang lemah. Negara dalam sistem Kapitalisme hanya berfungsi sebagai regulator yang menjamin kebebasan individu. Negara bukan berfungsi sebagai pengurus dan pelayan rakyat, penjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan seluruh rakyatnya, serta penjaga moral dan akidah masyarakat. Negara tidak memiliki jaminan hukum untuk menghapus sarana dan prasarana yang menunjang maraknya perilaku seks bebas. Negara juga tidak memiliki kepastian hukum untuk menindak tegas segala bentuk kejahatan, termasuk kejahatan asusila. Pasalnya, negara telah dipasung oleh kebebasan individu yang dijamin atas nama HAM (Hak Asasi Manusia). HAM telah melegalisasi setiap individu untuk berperilaku bebas, termasuk melakukan seks bebas. Negara membiarkannya bahkan memfasilitasi sarana prasarana yang memungkinkan untuk diakses dalam melakukan perbuatan seks bebas. Buktinya, negara membiarkan keberadaan night club 24 jam. Tempat-tempat pelacuran dilegalisasi. Para pelacurnya bahkan diakui sebagai pekerja dengan sebutan Pekerja Seks Komersial (PSK). Atas nama kebebasan pers negara pun membiarkan tontonan TV yang menyuguhkan materi pornografi sehingga diakses oleh seluruh kalangan termasuk anak-anak. VCD/DVD porno sangat mudah didapat karena dibiarkan beredar secara komersial dengan harga yang sangat murah sehingga bisa diakses oleh siapa saja dan di mana saja. Bahkan kini makin banyak cara untuk menjual materi pornografi melalui internet dan handphone. 

2. Andil media massa. Media massa sangat efektif dalam membangun pemikiran dan persepsi tentang standar-standar kehidupan. Aktivitas seks bebas semakin meningkat karena adanya dukungan media massa yang ikut andil menyebarluaskan pemikiran maupun perbuatan-perbuatan yang bermuatan liberal. Media massa atas nama kebebasan pers mendapatkan legalisasi untuk menulis, mencetak dan menyebarluaskan materi-materi pornografi dan pornoaksi yang merangsang munculnya perilaku seks bebas, khususnya di kalangan remaja. Bahkan saat sudah jelas-jelas melakukan penyebarluasan pornografi dan dijatuhi sanksi hukum, namun atas nama kebebasan pers, pemilik media dapat bebas dari jeratan hukum, sebagaimana yang dialami oleh Pemimpin Redaksi Majalah Playboy Indonesia, Erwin Arnada. 

3. Masyarakat permisif. Sistem Kapitalisme telah memunculkan kehidupan yang individualistis dan materialistis; kehidupan yang mengutamakan kepuasan-kepuasan individual dengan menghalalkan segala cara tanpa memperhatikan kepentingan orang lain. Maraknya perilaku seks bebas di kalangan remaja karena kepedulian masyarakat untuk melakukan kontrol sosial sudah semakin menipis. Masyarakat saat ini lebih mengutama-kan kepentingan pribadi. Mereka merasa tidak bertanggung jawab untuk menghentikan aktivitas-aktivitas seks bebas yang ada di sekitarnya. Saat ini anak remaja yang berpacaran sudah dianggap biasa dan dianggap gaul. Bahkan yang tidak berpacaran dianggap aneh dan dicurigai sebagai perbuatan yang tidak normal. Aktivitas pacaran yang mendekati perbuatan zina (berdua-duaan, berpegangan tangan, berciuman di depan umum, bahkan hubungan seks) dianggap sebagai konsekuensi kehidupan yang modern. Keberadaan tempat-tempat yang menyediakan aktivitas hura-hura yang disertai dengan minum-minuman keras, narkoba dan perbuatan asusila lainnya dibiarkan begitu saja. Bahkan pihak yang berusaha melakukan amar makruf nahi mungkar dianggap bisa dianggap radikal bila menolak perbuatan-perbuatan maksiat tersebut. 

4. Meluasnya pornografi dan pornoaksi. UU Pornografi yang disahkan pada tahun 2008 terbukti tidak mampu mencegah dan menghentikan aktivitas pornografi dan pornoakasi. Saat ini pornografi dan pornoaksi semakin mudah diakses melalui internet dan handphone dengan materi yang lebih vulgar. Masih sangat jelas bagi kita apa yang terjadi dalam kasus Ariel Peterpan dengan para kekasihnya yang menyebar melalui dunia maya dan handphone, ditambah lagi perbuatan anggota DPR yang menikmati pornografi-pornoaksi melalui internet saat di ruangan rapat. Semua itu merupakan bukti nyata yang amat menjijikkan. 

5. Pendidikan agama lemah. Di negeri ini pendidikan agama hanya diajarkan dengan jumlah jam yang sangat sedikit bila dibandingkan dengan pelajaran eksakta dan bahasa. Pendidikan agama hanya diajarkan 2 jam seminggu. Itu pun dengan bobot yang kosong dari penanaman akidah dan keterikatan pada hukum syariah. Akibatnya, remaja tidak mendapatkan pondasi agama yang kokoh. Karena itu, mereka tidak bisa menyaring dan menyeleksi berbagai rangsangan berupa pemikiran dan perbuatan yang mengarah pada perilaku seks bebas. Pendidikan agama hanya dibatasi pada pengajaran Islam sebagai nilai, norma dan budaya; bukan sebagai suatu sistem yang berhak mengatur kehidupan dalam seluruh aspek kehidupan. Ditambah lagi dengan adanya stigmatisasi terhadap Islam sebagai suatu sistem kehidupan telah menyebabkan remaja semakin asing dan jauh dari Islam sebagai way of life. 

6. Keluarga bermasalah. Sikap individualis dan materialis telah mengalir deras dalam kehidupan keluarga yang menyebabkan fungsi keluarga mengalami porak-poranda. Atas nama mencukupi kebutuhan keluarga dan meraih eksistensi di tengah masyarakat, orangtua (ayah-ibu) berlomba-lomba bekerja dan mencari uang dari pagi hingga malam hari tanpa memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak di rumah. Peran orangtua sebagai pendidik dan pembina anak-anak sudah diserahkan kepada media (TV, Internet, Play Station, dll), pembantu dan sekolah dengan kompensasi penyediaan anggaran yang besar. Orangtua menjadikan materi sebagai standar dalam memberikan kebahagiaan kepada anggota keluarga. Aktivitas anak-anak tidak terkontrol dengan baik. Mereka tidak mendapatkan kasih sayang yang cukup. Bahkan orangtua tidak lagi menjadi teladan yang baik bagi anak-anak. Mereka memberikan contoh yang buruk dengan perilaku perselingkuhan, korupsi, pertengkaran suami-istri, meminum-minuman keras, dan lain-lain. Padahal remaja yang sedang menuju masa balig tentu membutuhkan keteladanan, bimbingan dan kasih sayang yang cukup dari orangtua.

persentase pergaulan sexs bebas

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

Seks bebas kini sudah menjadi gaya hidup kaum urban di Indonesia. Gaya hidup yang disinyalir mengadaptasi gaya barat ini nampaknya malah jadi kebablasan. “Salah satunya bisa terlihat dari data semakin banyaknya orang yang terjangkit HIV/AIDS di Indonesia, yang disebabkan oleh adanya hubungan seks yang tidak aman,” ungkap dr Boyke Dian Nugraha, saat acara “Sexual Wellbeing Global Survey” yang diadakan oleh Durex di Plaza Senayan Arcadia, Jakarta Selatan, Rabu (30/11/2011).
Menurut penelitian yang dilakukan Durex terhadap 29.000 lelaki dan perempuan berusia 18 tahun ke atas dari 36 negara, termasuk Indonesia, menyatakan bahwa sekitar 1.015 orang Indonesia sudah terjangkit penyakit HIV/AIDS. Sebanyak 80-87 persennya disebabkan oleh seks yang tidak aman, dimana 70 persen dilakukan oleh kaum heteroseksual, dan 10 persennya oleh kaum homoseksual. Kemudian, 10-20 persen kasus HIV/AIDS disebabkan penggunaan jarum suntik, dan 5 persen ditularkan oleh ibu hamil kepada janin. Selain itu, terungkap pula bahwa Indonesia adalah negara dengan penyebaran HIV/AIDS tercepat di Asia Tenggara.
Selain seks bebas yang tidak aman, diketahui bahwa semakin tingginya persentase peningkatan penyebaran penyakit ini juga disebabkan oleh kebiasaan bergonta-ganti pasangan. Hasil survei menyebutkan bahwa dari 100 persen pasangan yang melakukan hubungan seks, hanya 29 persen saja yang berada dalam status menikah, dan sisanya bergonta-ganti pasangan.
Fakta yang lebih mencengangkan adalah bahwa sekitar 13 persen lelaki dan 6 persen perempuan di Indonesia tidak setia pada pasangan mereka. Sayangnya, angka ini ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan dengan gaya hidup masyarakat Barat, khususnya Amerika dan Inggris yang dinilai lebih bebas dalam berhubungan seks. Buktinya, hanya 10 persen orang Amerika dan 8 persen orang Inggris yang tidak setia.
“Ternyata masyarakat Barat lebih setia dengan pasangannya, dibanding dengan orang Indonesia dalam hubungan seks, ” sesal Boyke.
Tragis memang, jika pada kenyataannya masyarakat Barat ternyata masih lebih setia dibanding dengan masyarakat Indonesia. Dari survei ini juga diperoleh data bahwa pria Indonesia bisa berganti pasangan seks hingga lima kali, sedangkan perempuan bisa berganti pasangan sampai dua kali. Hal ini diperparah dengan adanya stigma di kalangan masyarakat, khususnya di pedesaan, yang mengatakan bahwa lelaki selingkuh itu dianggap biasa, dan justru dianggap jantan dan perkasa.
Selain perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia dalam kehidupan sosial, ternyata peningkatan kesadaran masyarakat Barat tentang pentingnya kesetiaan sudah mulai meningkat. “Sejak merebaknya isu HIV, orang di Amerika dan negara lainnya sudah mulai sadar akan bahayanya, sehingga mereka pun mulai memiliki kesadaran bahwa seks yang paling aman adalah dengan pasangannya sendiri. Kesetiaan adalah kunci utamanya,” tambahnya.

seks yang paling aman adalah dengan pasangannya sendiri. Kesetiaan adalah kunci utama, orang di Amerika dan negara lainnya mulai sadar akan bahaya HIV dengan cara ini mereka mengurangi penyebarannya.



Loading...